Wednesday, May 14, 2014

Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa dan Bali




Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa dan Bali

By Ni Wayan Pasek Ariati, PhD[1]

Latar Belakang Penelitian

Dalam makalah ini, saya berusaha untuk mengkaji mitos serta pemujaan terhadap Bhatari Durga mulai dari asal mulanya di India lalu perkembangannya di Indonesia khususnya di Jawa dan Bali.[2] Pertama-tama sebelum membahas lebih jauh tentang mitos dan pemujaan kepada Bhatari Durga, saya ingin menyampaikan bagaimana saya sampai tertarik untuk mengkaji tentang Bhatari Durga. Rasa tertarik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang Bhatari Durga karena pada waktu saya bekerja di Jaipur, India Utara di tahun 2001-2003, saya merasa kaget karena ada beberapa toko bernama Durga, grup music bernama Durga, dan juga beberapa perempuan bernama Durga. Kenapa? Itulah pertanyaan yang muncul dari benak saya ketika itu. Sedangkan di Bali, saya selalu menganggap Bhatari Durga sebagai sosok yang menyeramkan dan bersemayam di setra Ganda Mayu, Pura Dalem Mrajapati. Itulah pengetahuan tentang Bhatari Durga yang saya dapatkan dari cerita lisan kakek saya almarhum yang merupakan Pemangku Dalem di desa saya.

Melihat persepsi umat Hindu di India dan penganut Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya, maka saya berusaha mengetahui lebih banyak tentang bagaimana Bhatari Durga di Bali bisa digambarkan sebagai sosok Bhatari yang menyeramkan, jauh berbeda dari penggambaran aslinya di India. Maka dari itu, saya melamar bea-siswa untuk mengadakan penelitian lebih mendalam tentang perkembangan citra/image dari Bhatari Durga di India dan Bali. Tetapi atas saran Prof. Hildred Geertz, Princeton Univerity, USA; Prof. Hariani Santiko, UI dan Pembimbing saya Dr. Christine Doran, CDU (Charles Darwin University), Darwin, Australia; dimana ketiga professor tersebut menyarankan kepada saya supaya membahas Bhatari Durga di Jawa untuk lebih sempurna, maka saya menyetujui saran beliau bertiga. Jadi, judul akhir disertasi saya adalah “The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali”, yang belum terbit karena saya perlu waktu dan biaya untuk mengedit disertasi tersebut supaya menjadi sebuah buku yang lebih manarik untuk dibaca.

Upacara Pekeling: Jatra dan Yatra
Sebelum mengadakan penelitian, saya mulai dengan mengadakan upacara Jatra dan Yatra[3] yaitu upacara “mepekeling” di Pura Dalem di kampong di mana kakek saya sebagai pemangku. Kakek sebenarnya takut dan kwatir kalau saya melakukan penelitian tentang Bhatari Durga karena beliau bilang,”Ida Bhatari nak tenget, sing dadi cuah-cauh nyambatang ragane. Kudiang awake, men ragane duka?”. Nah karena itu, kakek menyarankan saya untuk mengadakan pekeling ke pura-pura sebelum mengadakan penelitian lebih jauh.

Saya mulai upacara Jatra dan Yatra dengan berpuasa selama tiga hari dan sembahyang di Pura Dalem di kampong dimana kakek adalah pemangkunya, lalu saya lanjutkan dengan pergi ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida dan bermalam di sana selama satu malam. Tirta Yatra saya ke Dalem Ped diikuti oleh beberapa pemangku dan balian. Tujuannya yaitu untuk mohon ijin dan pengampunan karena selama penelitian, saya akan banyak menyebut nama Ida Bhatari Durga yang sangat disakralkan di Bali.

Hanya setelah melakukan Jatra dan Yatra, akhirnya saya dengan rasa lega melalukan wawancara serta penelitian di beberapa tempat di India seperti Jaipur, Calcutta, Varanasi, Rishi Kesh, Delhi, dan di daerah pegunungan di India dimana penyembahan terhadap Bhatari Durga dilakukan dengan pengorbanan kambing di hadapan arca Durga, Kali, Badrakali.  Tetapi kalau di Bali, saya mengatakan kepada orang-orang bahwa saya mengadakan penelitian tentang “perbadingan” antara Dewi di India dan Bali, hal tersebut saya lakukan karena pernah suatu saat ada yang bertanya tentang penelitian saya dimana saya jawab dengan jujur yaitu tentang Bhatari Durga di India dan Bali, lalu teman tersebut bilang, “jadi kamu sudah pinter black-magic, udah bisa jadi apa aja?”. “Wah gawat…nanti aku dikira sakti kalau itu pikiran orang terhadap Bhatari Durga, lebih baik cari jalan aman”, itulah pembelaan yang muncul dalam benak saya. Lalu saya jawab, ”kamu ngawur sekali, okay nanti deh kalau disertasiku dah kelar, kamu baca ya!”, menghardik dia yang hanya tersenyum tidak puas dengan jawaban saya.

Methode Penelitian
Selama di India, saya banyak mengadakan penelitian dengan mengunjungi museum, kuil-kuil (mandir) yang diperuntukan pemujaan kepada Bhatari Durga, mengikuti upacara Durga Puja di Calcutta dan Varanasi, wawancara dengan pemuja Durga yang disebut Tantrik, serta mengujungi para Sadu di goa-goa yang merupakan pemuja Durga yang fanatic. Selama penelitian di India, saya bertemu dengan beberapa pemuja Durga yang sangat taat. Salah seorang pemuja Durga di Culcatta berkata kepada saya,
”Dewi Durga adalah Dewi yang paling pemurah karena apapun yang kita inginkan akan segera dikabulkan, sedangkan Dewi Saraswati sangat pelit kita harus lama sekali belajar untuk menjadi pintar. Dewi Laksmi juga begitu pelit, kita sulit untuk menjadi kaya walau bagaimanapun kerasnya usaha kita”.

Dalam kesempatan yang sama, saya juga bertemu dan wawancara dengan “tantric” istilah ini mengacu pada orang yang ahli dalam ilmu black-magic karena para tantric punya “magic-eyes” dimana mereka bisa mencelakai musuh-musuhnya dengan hanya memandang dengan “magic-eyes”nya. Maka dari itu, anak-anak kecil di India memakai “cilak” hitam dan mobil-mobil berisi sesajen berupa cabai, jeruk lemon dan bawang merah yang katanya bisa menolak kesaktian dari “magic-eyes”. Seorang tantric yang saya wawancarai bersifat sangat rahasia, dia hanya bicara dengan orang yang dipercaya. Dalam wawancara tersebut tantric tersebut berkata bahwa dia tidak pernah menyakiti orang secara langsung, tetapi kekuatan yang dianugrahi oleh “Gorakh Nath” (Siwa dalam bentuk menyeramkan) bisa mencelakai orang yang bermaksud jahat padanya. Saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang namanya Durga. Saya tanya ibu itu tentang namanya. Dia bilang, “Dewi Durga sangat cantik dan maha pengasih, jadi nama itu bagus untuk perempuan”. Lalu saya katakan padanya,”Di Bali, kami tidak berani menyebut nama Durga blak-blakan, biasanya kita membuat nama yang menyamarkan nama Durga, seperti Ratu Ayu, Ida Bhatari Dalem atau Ratu Mas”. Ibu Durga itu semakin penasaran dengan perkembangan Dewi Durga di Bali. Akhirnya saya diundang untuk memberikan presentasi tentang Bhatari Durga di New Delhi India pada tahun 2008 sebelum melanjutkan presentasi di Berlin, Jerman dalam tahun yang sama. 

Sedangkan di Indonesia, saya mengadakan penelitian di Jawa terlebih dulu karena pemujaan Bhatari Durga bermula dari Jawa lalu bergeser menuju Bali yang mana sampai sekarang tetap dilaksanakan walau dengan cara yang berbeda dibanding dengan pemujaan di jaman lampau. Di Indonesia, saya juga mewawancarai banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, seperti pemangku, pedanda, masyarakat awam, para akademisi serta para balian.

Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di India
Pada mulanya Bhatari Durga digambarkan sebagai Dewi Perang yang cantik jelita dengan jumlah tangan mulai dari empat sampai dua belas dimana setiap tangannya memegang senjata yang sangat ampuh dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Menurut (Mookerjee, 1988:8 dan Agravala, 1963), sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam sloka suci Devi Mahatmya, sebuah sisipan penting dari Markandeya Purana (digubah pada abad ke- 6th Masehi), diceritakanlah lahirnya Bathari Durga sebagai berikut:
Pada jaman dulu, sorga loka diserang oleh rakasa bersama pasukannya yang dipimpin oleh Mahisasura yaitu raksasa berkepala kerbau. Raksasa tersebut sangat sakti dan tak terkalahkan oleh pasukan para dewa di sorga. Pada saat penyerangan tersebut, Dewa Siwa sedang bertapa di Gunung Kailasa, puncak tertinggi dari pegunungan Himalaya. Raksasa Mahisasura menduduki sorga loka sehingga para dewa morat-marit berlarian kemana-mana untuk menyelamatkan diri. Akhirnya para dewa memutuskan untuk pergi ke puncak Kailasa memberitahukan Dewa Siwa tentang keadaan di sorga loka.  Dewa Siwa yang sedang meditasi menjadi sangat murka mendengar kabar kalau sorga telah diobrak-abrik oleh pasukan raksasa raja Mahisasura dan tahta sorga telah diduduki oleh raja Mahisasura. Saking murkanya maka dari kedua kening Dewa Siwa muncullah pancaran cahaya yang luar biasa dahsyatnya. Demikian juga dari kedua kening para dewa lainnya muncul cahaya yang menyatu dengan cahaya Dewa Siwa. Dari kumpulan cahaya para dewa tersebut muncullah sesosok Dewi yang luar biasa cantiknya bertangan delapan yang membuat para dewa sangat senang melihat kelahiran dewi tersebut. Karena para dewa tahu bahwa musuh mereka tidak dapat dikalahkan oleh para dewa, maka para dewa yakin bahwa Mahisasura akan tunduk dan terkalahkan oleh sosok perempuan cantik. Maka sepakatlah para dewa untuk mengirimkan Dewi yang cantik ke medan laga.


Karena Sang Dewi akan dikirim ke medan perang maka dari itu para dewa perlu menganugrahi Dewi itu senjata-senjata sakti supaya bisa mengalahkan Mahaisasura. Lalu, Dewa Siwa menganugrahkan Tri Sula, Wisnu menganugrahkan Cakra, Brahma menganugrahkan Gada, Indra menganugrahkan Bajra dan juga dewa-dewa lainnya, sehingga kedelapan tangan Dewi tersebut berisi senjata mahasakti. Dewi yang baru tercipta dari cahaya para dewa akhirnya diberi nama Dewi Durga yang berarti “Seorang Dewi yang Sulit Dikalahkan”. Untuk melengkapi sarana perang Dewi Durga dianugrahi Singa oleh Dewa Siwa dalam penjelmaannya sebagai Bhanaspati Raja (Raja Hutan) sebagai wahananya dalam perang melawan pasukan raksasa Mahisasura. Setelah Dewi Durga dibekali mantra-mantra kesaktian dari para dewa dan siap dengan peralatan perangnya maka pergilah Dewi Durga dengan wahana Singanya ke medan laga sendirian menantang Mahisasura untuk berperang. Dengan suara nyaring Dewi Durga memanggil Mahisasura dan menantangnya untuk berperang.
“Wahai Raja Mahisasura, keluarlah ke medan laga, lawanlah aku bertempur!”, tantang Dewi Durga.

Mendengar tantangan seorang perempuan dan melihat betapa cantik perempuan yang menantangnya, maka Mahisasura pertamanya tidak mau melawan dan diapun berkata kepada Dewi Durga,
”O Sang Dewi yang maha cantik, kenapa harus berperang melawanku, apakah tidak lebih baik kalau kita bertempur di tempat tidur saja?”

Tertawalah Dewi Durga mendengar tawaran raja raksasa sambil menjawab,
“hahaha…..hanya lelaki yang bisa mengalahkan aku di medan perang berhak bertempur denganku di tempat tidur”.

Murkalah Mahisasura atas jawaban Dewi Durga yang merendahkan kesaktian Mahisasura. Rasa kejantanannya sangat tertantang untuk segera menundukan dan mengalahkan Dewi Durga supaya bisa mengajaknya ke tempat tidur. Akhirnya mereka berperang mengadu kesaktian. Dalam adu kesaktian, Mahisasura mengubah wujudnya beberapa kali tetapi tetap dia selalu bisa dikenali dan dilumpuhkan oleh Dewi Durga. Terakhir kali, Mahisasura berubah menjadi kerbau yang ganas. Singkat cerita, Dewi Durga dapat mengalahkan Mahisasura dengan memenggal kepala Mahisasura yang berupa kerbau tersebut.

Dengan kalahnya Mahisasura, maka para dewa memuji-muji Dewi Durga dengan mantra-mantra pujian. Sejak saat itu, Dewi Durga diberi nama Durga Mahisasuramardini, yang berarti “Dewi Durga yang telah mengalahkan raksasa Mahisasura”.

Begitulah cerita singkat tentang lahirnya Bhatari Durga di India. Di India, Durga selalu digambarkan sebagai Dewi yang cantik dan selalu dipuja demi kemenangan. Ada mandir-mandir khusus dipakai tempat memuja Durga, ada hari suci yang khusus untuk memuja Dewi Durga yang disebut Durga Puja, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober. Pada saat Durga Puja, biasanya perayaannya dilakukan dengan membuat pandal[4] yang berisi arca Tri Sakti: Maha Saraswati, Maha Durga, Maha Laksmi. Di antara Tri Sakti; Dewi Saraswati, Dewi Laksmi dan Dewi Durga, maka Dewi Durga lah yang paling banyak dipuja di India. Biasanya di dalam pandal ini, Dewi Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardani dimana arcanya memperlihatkan kekalahan raksasa Mahisasura. Saya sendiri sempat menyaksikan bagaimana perayaan Durga Puja dilaksanakan di Culcatta dan Varanasi. 

Berikutnya, saya akan membahas tentang bagaimana pemujaan serta perkembangan Bhatari Durga di Nusantara.

Perkembangan Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di Jawa dan Bali
Di Nusantara, arca Bhatari Durga dalam bentuk Durga Mahisasuramardini telah ditemukan di beberapa candi di Jawa Barat pada abad ke-6th Masehi (Hariani Santiko, 1987), dan arca Durga Mahisasuramardini banyak ditemukan di Jawa Tengah terutama pada candi-candi Hindu beraliran Siwa, seperti misalnya di Candi Prambanan, dimana arca Durga Mahisasuramardini ditemukan di bagian utara candi Siwa. Pemujaan terhadap Bhatari Durga biasanya dilakukan oleh para raja untuk memohon kemenangan dalam perang. Tetapi Durga juga dipuja oleh kaum Brahmana, Wesya dan Sudra untuk mendapatkan perlindungan dari musuh. Setelah pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 Masehi, pemujaan terhadap Durga juga dilakukan oleh para raja di Jawa Timur seperti Kediri, Singosari dan Majapahit. Peninggalan dari arca Durga di Jawa Timur ditemukan di beberapa candi Hindu seperti Candi Singosari, Candi Sambisari, Candi Gedong Songo, dimana arca Durga masih punya ciri-ciri yang sama dengan arca di Jawa Barat, Jawa Tengah sedangkan arca Durga yang ditemukan di Jawa Timur telah mulai mengalami perubahan yang radikal yaitu arca Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini bertaring (Hariani Santiko, 1987).

Penggambaran Dewi Durga yang lebih ektrim ditemukan di relief Candi Penataran dan Candi Tigawangi dimana Durga telah digambarkan sebagai Dewi Raksasa dengan tubuh tinggi, rambut acak-acakan, bertaring dan mata melotot.

Di Bali, berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu (kira-kira abad ke 11 Masehi) banyak menyebutkan pemujaan terhadap Durga, sedangkan beberapa arca yang kita temukan di Bali pada jaman Anak Wungsu masih menggambarkan ciri-ciri khas Durga Mahisasuramardini tetapi telah ada akulturasi dengan budaya local. Misalnya arca Durga Mahisasuramardini yang terdapat di Pura Dalem Kutri, Buruan, Gianyar, Durga digambarkan memiliki delapan tangan yang semua memegang senjata tetapi salah satu tangan Durga memegang keris yaitu senjata khas Bali dan absennya gambaran Mahisasura dalam Durga Kutri. Di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar juga ditemukan beberapa arca Durga Mahisasuramardini, tetapi oleh penduduk lokal arca tersebut dinamakan Ratu Pasek, sama halnya dengan arca Durga Mahisasuramardini di Candi Prambanan, orang awam menyebutnya Loro Jongrang.

Pada saat ini, kalau kita berbicara tentang Bhatari Durga, yang ada dalam benak kita orang kebanyakan adalah Durga yang disamakan dengan sosok Rangda, yaitu suatu image yang menyeramkan dengan sosok tinggi besar, rambut panjang awut-awutan, mata melotot, lidah menjulur dan bersemayan di kuburan Ganda Mayu. Demikianlah image yang diceritakan oleh generasi pendahulu seperti kakek saya dan orang-orang di kampong saya. Dan gambaran serupa tentang Dewi Durga juga dapat kita buktikan dalam literature dan visual seperti cerita Sudamala, Andha Bhuwana dan Calon Arang sedangkan bukti secara visual bisa kita lihat di relief candi-candi di Jawa seperti Candi Tigawangi dan Candi Sukuh dan di beberapa pura Dalem di Bali.

Berdasarkan bukti tertulis dan bukti visual, saya membuat spekulasi tentang faktor-faktor yang mungkin menyebabkan perubahan/perkembangan radikal Durga dari sosok Dewi Perang yang cantik jelita menjadi Dewi Raksasi yang menyeramkan setelah pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (abad ke-10 sampai 15 Masehi) dan di Bali sampai saat ini.

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  • Sosok Bhatari Durga sebagai dewi perang mungkin dianggap terlalu ektrim dan terlalu provokatif oleh masyarakat yang menganut system patriarki terutama di Jawa dan Bali walaupun sebenarnya ada tokoh Sri Kandi dianggap anomaly dan diterima dalam masyarakat.

  • Pencitraan Bhatari Durga dalam beberapa literature (Ghatotkacasraya) dan prasasti (Petak dan Trilokyapuri) yang digambarkan sangat senang menerima persembahan sesajen berupa daging mentah dan darah, pencitraan seperti ini ditemukan dalam prasasti bagian kutukan terhadap orang yang berani melanggar aturan-aturan yang diterapkan dalam prasasti untuk menjaga keamanan wilayah sima atau tanah milik komunal seperti tanah pengempon pura di Bali.

  • Perkembangan lebih lanjut yang terjadi pada Dewi Durga berdasarkan karya sastra Calon Arang adalah Dewi Durga disamakan atau dikelirukan dengan pemuja setianya yaitu Rangda ing Dirah. Hal ini, menurut pemikiran saya adalah adanya kerentanan status janda (rangda) bagi perempuan di dunia. Kalau janda itu cantik tentu akan banyak mendapat godaan dari laki-laki dan juga akan banyak dicemburui oleh kaum perempuan.
                                                                                                               

Takdir Seorang Dewi: diciptakan, dipuja, dituduh dan dikutuk
Dalam makalah singkat ini, saya hanya ingin mengkaji dan membandingkan pemujaan dan pencitraan Durga di India dan Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perubahan radikal pada Dewi Durga telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Pada prinsipnya pemujaan terhadap Durga tetap dipertahankan yaitu untuk mengalahkan para musuh, tetapi musuh jaman sekarang tidaklah sama dengan musuh di jaman lampau. Misalnya pada jaman kerajaan di masa lampau seperti yang diceritakan dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (1365-1389 Masehi) pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari jaman Majapahit, raja-raja yang dibantu oleh para pandita (Siwa-Buda) menyembah Durga sebagai Dewi Perang supaya bisa memenangkan pertandingan. Dalam cerita Sutasoma dipaparkan bahwa baik Raja Sutasoma (Buda) maupun Raja Purosada (Siwa) menyembah Durga sebelum ke medan perang. Durga sebagai dewi yang maha pengasih dan penyayang, tentu memberikan anugrah kepada siapapun yang memujanya dengan khidmat (Zoetmulder 1974: 331).

Di samping dipuja-puja untuk menang perang, Dewi Durga juga dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma seperti yang dipaparkan dalam versi kidung Sudamala (digubah antara 1365-1406 Masehi) pada jaman pemerintahan raja-raja di Jawa Timur. Sedangkan kalau di Bali perselingkuhan Dewi Durga (Uma) dipaparkan dalam cerita Rare Angon, dimana Dewi Uma dituduh berselingkuh dengan seorang pengembala sapi (jelmaan Dewa Siwa sendiri). Sepenggal cerita perselingkuhan Dewi Durga dalam versi kidung Sudamala adalah sebagai berikut:

Diceritakan bahwa Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Asihprana dan Sang Hyang Wisesa mengadakan pertemuan di istana Ida Bhatara Guru, rajanya para dewa. Mereka membicarakan kelakuan yang salah Dewi Sri Uma, istri Bhatara Guru, dimana Dewi Uma telah dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma. Bhatara Guru sangat murka mendengar kabar perselingkuhan istrinya, serta merta Bhatara Guru mengutuk istrinya yang cantik menjadi Durga dengan sosok raksasi yang menyeramkan. Uma yang terkutuk digambarkan sebagai sosok raksasi berubuh besar tinggi, rambut awut-awutan, mata bagaikan matahari kembar, mulutnya bagaikan goa dengan taring tajam dan panjang, lobang hidungnya bagaikan sumur kembar, dan seluruh tubuhnya penuh dengan bentolan dan loreng.

Di dalam kidung Sudamala, tidak hanya dikutuk untuk menjelma menjadi dewi raksasi, Dewi Durga juga diturunkan dari kahyangan dan bersemayam di setra ganda mayu dan memangsa mayat untuk kelangsungan hidupnya. Dewi Durga raksasi hanya akan bisa kembali berubah wujud menjadi dewi yang cantik apabila telah disupat atau diruwat oleh Dewa Siwa sendiri melalui Sahadewa anak bungsu dari Panca Pandawa. Untuk bisa tetap bertahan hidup, Dewi Durga mempunyai banyak sisya yang menyebabkan penyakit makhluk hidup lalu mati. Dewi Durga akan menganugrahi kesaktian kepada siapapun yang mau mempelajari ‘black-magic’ supaya pemujanya menjadi sakti sehingga lebih banyak santapannya apabila banyak orang yang meninggal akibat ulah dari para sisyanya. Tetapi Bhatari Durga juga berpesan kepada pemujanya agar tidak membunuh orang-orang tanpa dosa, “tan wenang kita amati wong tanpa dosa”

Itulah kisah dari terkutuknya Dewi Uma yang cantik menjadi Durga yang menyeramkan versi Indonesia. Ketika saya bertanya pada orang-orang di India mengenai cerita Sudamala tersebut, baik sarjana maupun orang awam tidak mengetahui cerita tentang perselingkuhan istri Dewa Siwa dengan Dewa Brahma yang akhirnya kena kutuk. Cerita Sudamala adalah hasil pemikirin pengawi atau sastrawan Indonesia yang telah disisipi ide dan norma-norma, tradisi local untuk memposisikan perempuan di dunia patriarki. Perempuan cantik adalah sosok yang dipuja-puja dan dalam waktu yang bersamaan juga sangat rentan untuk terkena gossip maka terjadilah perubahan citra dari perempuan pujaan menjadi perempuan terkutuk. Citra perempuan akan kembali cantik apabila telah diruwat (diperistri) oleh laki-laki.

Kesimpulan
Mitos dan Pemujaan terhadap Dewi Durga mengalami perjalanan dan proses yang panjang dan berliku mulai dari asal mulanya di India lalu menyebrang samudra luas sampai ke Nusantara, khususnya Jawa dan Bali. Berdasarkan sejarah perkembangan Dewi Durga, bisa kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
  • Pada dasarnya tujuan pemujaan terhadap Dewi Durga adalah sama seperti tujuan utama penciptaan Dewi Durga yaitu untuk menang perang melawan musuh; dimana menurut kepercayaan Hindu musuh itu banyak macamnya. Bagi saya musuh yang paling sulit dikalahkan adalah musuh dalam diri kita sendiri yang berupa sad ripu (kama: nafsu, lobha: tamak, krodha: kemarahan, moha: kebingungan, mada: mabuk, matsarya: dengki, iri hati).
  • Betapapun garangnya laki-laki, biasanya dia bisa ditaklukkan oleh perempuan cantik.
  • Sangatlah susah menjadi perempuan cantik apalagi punya prestasi, akan banyak gossip dan tuduhan miring terhadap perempuan tersebut.
  • Perempuan akan bisa kembali cantik apabila diruwat oleh laki-laki.

Referensi Pustaka:

Agravala, V.S
1963                The Glorification of the Great Goddess. Varanasi: India Khasiraj Trust.
Ariati, Ni Wayan Pasek
2010                The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali. Disertasi PhD di Charles Darwin University (CDU), Darwin, Australia.
Mookerjee, Ajit
1988                Kali: The Feminine Force. London: Thames and Hudson Ltd.

Santiko, Hariani
1987                Kedudukan Bhatari Durga di Jawa Pada Abad X-XV Masehi. Disertasi PhD Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.





[1] Penulis adalah Direktor Akademis program SIT Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change yang berlokasi di jalan Samuan Tiga No.1, Bedulu, Gianyar.
[2] Makalah ini bersifat semi-ilmiah karena banyak perspektif pribadi dimasukkan dalam tulisan ini. Kalau mau membaca yang ilmiah, silakan baca disertasi saya yang berjudul “The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali”
[3] Jatra adalah perjalanan suci di sekitar tempat tinggal kita, sedangkan Yatra adalah perjalanan suci menyebrang lautan atau pegunungan.
[4] Pandal adalah semacam kuil sementara terbuat dari gabus dengan arca Tri Sakti di dalam pandal tersebut.

22 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. Vannakam,
    Terima kasih atas disertasinya, smoga kdepanya akan bnyak org yg mengerti akan siapa sosok durga n manifestasinya, devi kali.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak semoga disertasi saya segera terbit.

      Delete
  3. Osa...dimana bisa mendapat disertasinya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedang diusahakan untuk diterbitakan di India. Doakan nggih!

      Delete
  4. Osa...dimana bisa mendapat disertasinya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Arya, tahun depan mudah-mudahan sudah terbit di India. Terima kasih atas perhatiannya.

      Delete
  5. Luar biasa... hidup wayang indonesia

    ReplyDelete
  6. Salam Rahayu Ibu Wyn.Ariati....
    Sy senang bisa lebih mendalam untuk tau sosok "Betari Durga" dan sy bisa mengambil kesimpulanya dari ceritra yg sudah di artikelkan oleh ibu Wayan dengan Realita kehidupan dimana sy bisa memulai tau hingga saat ini. Matur suksma artikelnya ibu Wayan....semoga bisa lebh mendalam lg yg bisa dikemukakan melalui penelitian yg sdh ibu jalankan.

    Rahayu.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Darma Putu, suksma nggih. Semoga bukunya terbit segera karena sudah dibukukan di India.

      Delete
  7. Replies
    1. Hendra, suksma nggih atas perhatiannya. Kita tunggu penerbitan bukunya.

      Delete
  8. Postingan nya sangat menarik sekali.

    ReplyDelete
  9. Luar biasa. Pencerahan dan penambah pengetahuan bagi saya tentang Durga. Bolehkah saya mendapatkan info tentang buku Calon Arang? saya masih penasaran dengan sosok Randa dari Girah, dan juga saya butuhkan untuk menulis buku. Terimkasih.
    Salam kenal.

    ReplyDelete
  10. Halo mbok Wayan Ariati, saya suka sekali dan juga tertarik tentang dewi Durga. Apakah bukunya sudah terbit ? Ato mungkin ada email, email saya ongkodanang@gmail.com . Terima kasih

    ReplyDelete
  11. Halo Mbo Wayan, saya tertarik dengan sosok Dewi Durga. Di mana saya bisa mendapatkan bukunya Mbo? Mohon email saya: morningsinners@gmail.com. Suksma - Manda

    ReplyDelete
  12. Sekarang sudah 2018, apakah buku tentang penelitian ini sudah terbit?

    ReplyDelete
  13. Salam Rahayu mbak Wayan Ariati ...sangat menarik, mencerahkan .. Sepertinya memang demikian adanya...Takdir Seorang Dewi: diciptakan, dipuja, dituduh dan dikutuk .."kesalah pahaman" yang fatal, prosesnya mirip2 dengan imej yg ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul ... yg sejatinya adalah welas asih ... matur suksma ...

    ReplyDelete
  14. Tabik Pakulun Hyang Ibu Bhatari Dalem Durga Dewi

    ReplyDelete