Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa
dan Bali
By Ni Wayan Pasek Ariati, PhD[1]
Latar Belakang Penelitian
Dalam makalah ini, saya berusaha
untuk mengkaji mitos serta pemujaan terhadap Bhatari Durga mulai dari asal
mulanya di India lalu perkembangannya di Indonesia khususnya di Jawa dan Bali.[2]
Pertama-tama sebelum membahas lebih jauh tentang mitos dan pemujaan kepada
Bhatari Durga, saya ingin menyampaikan bagaimana saya sampai tertarik untuk
mengkaji tentang Bhatari Durga. Rasa tertarik saya untuk mengetahui lebih jauh
tentang Bhatari Durga karena pada waktu saya bekerja di Jaipur, India Utara di
tahun 2001-2003, saya merasa kaget karena ada beberapa toko bernama Durga, grup
music bernama Durga, dan juga beberapa perempuan bernama Durga. Kenapa? Itulah
pertanyaan yang muncul dari benak saya ketika itu. Sedangkan di Bali, saya
selalu menganggap Bhatari Durga sebagai sosok yang menyeramkan dan bersemayam
di setra Ganda Mayu, Pura Dalem Mrajapati. Itulah pengetahuan tentang Bhatari
Durga yang saya dapatkan dari cerita lisan kakek saya almarhum yang merupakan
Pemangku Dalem di desa saya.
Melihat persepsi umat Hindu di India
dan penganut Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya, maka saya berusaha
mengetahui lebih banyak tentang bagaimana Bhatari Durga di Bali bisa
digambarkan sebagai sosok Bhatari yang menyeramkan, jauh berbeda dari
penggambaran aslinya di India. Maka dari itu, saya melamar bea-siswa untuk
mengadakan penelitian lebih mendalam tentang perkembangan citra/image dari
Bhatari Durga di India dan Bali. Tetapi atas saran Prof. Hildred Geertz,
Princeton Univerity, USA; Prof. Hariani Santiko, UI dan Pembimbing saya Dr.
Christine Doran, CDU (Charles Darwin University), Darwin, Australia; dimana
ketiga professor tersebut menyarankan kepada saya supaya membahas Bhatari Durga
di Jawa untuk lebih sempurna, maka saya menyetujui saran beliau bertiga. Jadi,
judul akhir disertasi saya adalah “The Journey of the Goddess Durga: India,
Java and Bali”, yang belum terbit karena saya perlu waktu dan biaya untuk
mengedit disertasi tersebut supaya menjadi sebuah buku yang lebih manarik untuk
dibaca.
Upacara Pekeling: Jatra dan Yatra
Sebelum mengadakan penelitian, saya
mulai dengan mengadakan upacara Jatra
dan Yatra[3] yaitu
upacara “mepekeling” di Pura Dalem di kampong di mana kakek saya sebagai
pemangku. Kakek sebenarnya takut dan kwatir kalau saya melakukan penelitian
tentang Bhatari Durga karena beliau bilang,”Ida
Bhatari nak tenget, sing dadi cuah-cauh nyambatang ragane. Kudiang awake, men
ragane duka?”. Nah karena itu, kakek menyarankan saya untuk mengadakan pekeling ke pura-pura sebelum
mengadakan penelitian lebih jauh.
Saya mulai upacara Jatra dan Yatra dengan berpuasa selama tiga hari dan sembahyang di Pura
Dalem di kampong dimana kakek adalah pemangkunya, lalu saya lanjutkan dengan
pergi ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida dan bermalam di sana selama satu malam. Tirta Yatra saya ke Dalem Ped diikuti
oleh beberapa pemangku dan balian. Tujuannya yaitu untuk mohon ijin dan
pengampunan karena selama penelitian, saya akan banyak menyebut nama Ida
Bhatari Durga yang sangat disakralkan di Bali.
Hanya setelah melakukan Jatra dan Yatra, akhirnya saya dengan rasa lega melalukan wawancara serta
penelitian di beberapa tempat di India seperti Jaipur, Calcutta, Varanasi,
Rishi Kesh, Delhi, dan di daerah pegunungan di India dimana penyembahan
terhadap Bhatari Durga dilakukan dengan pengorbanan kambing di hadapan arca
Durga, Kali, Badrakali. Tetapi kalau di
Bali, saya mengatakan kepada orang-orang bahwa saya mengadakan penelitian
tentang “perbadingan” antara Dewi di India dan Bali, hal tersebut saya lakukan
karena pernah suatu saat ada yang bertanya tentang penelitian saya dimana saya
jawab dengan jujur yaitu tentang Bhatari Durga di India dan Bali, lalu teman
tersebut bilang, “jadi kamu sudah pinter black-magic, udah bisa jadi apa aja?”.
“Wah gawat…nanti aku dikira sakti kalau itu pikiran orang terhadap Bhatari
Durga, lebih baik cari jalan aman”, itulah pembelaan yang muncul dalam benak
saya. Lalu saya jawab, ”kamu ngawur sekali, okay nanti deh kalau disertasiku
dah kelar, kamu baca ya!”, menghardik dia yang hanya tersenyum tidak puas
dengan jawaban saya.
Methode Penelitian
Selama di India, saya banyak
mengadakan penelitian dengan mengunjungi museum, kuil-kuil (mandir) yang diperuntukan pemujaan
kepada Bhatari Durga, mengikuti upacara Durga Puja di Calcutta dan Varanasi,
wawancara dengan pemuja Durga yang disebut Tantrik, serta mengujungi para Sadu
di goa-goa yang merupakan pemuja Durga yang fanatic. Selama penelitian di India,
saya bertemu dengan beberapa pemuja Durga yang sangat taat. Salah seorang
pemuja Durga di Culcatta berkata kepada saya,
”Dewi Durga adalah Dewi yang paling
pemurah karena apapun yang kita inginkan akan segera dikabulkan, sedangkan Dewi
Saraswati sangat pelit kita harus lama sekali belajar untuk menjadi pintar.
Dewi Laksmi juga begitu pelit, kita sulit untuk menjadi kaya walau bagaimanapun
kerasnya usaha kita”.
Dalam kesempatan yang sama, saya
juga bertemu dan wawancara dengan “tantric” istilah ini mengacu pada orang yang
ahli dalam ilmu black-magic karena para tantric punya “magic-eyes” dimana
mereka bisa mencelakai musuh-musuhnya dengan hanya memandang dengan
“magic-eyes”nya. Maka dari itu, anak-anak kecil di India memakai “cilak” hitam
dan mobil-mobil berisi sesajen berupa cabai, jeruk lemon dan bawang merah yang
katanya bisa menolak kesaktian dari “magic-eyes”. Seorang tantric yang saya
wawancarai bersifat sangat rahasia, dia hanya bicara dengan orang yang
dipercaya. Dalam wawancara tersebut tantric tersebut berkata bahwa dia tidak
pernah menyakiti orang secara langsung, tetapi kekuatan yang dianugrahi oleh
“Gorakh Nath” (Siwa dalam bentuk menyeramkan) bisa mencelakai orang yang
bermaksud jahat padanya. Saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang namanya
Durga. Saya tanya ibu itu tentang namanya. Dia bilang, “Dewi Durga sangat
cantik dan maha pengasih, jadi nama itu bagus untuk perempuan”. Lalu saya
katakan padanya,”Di Bali, kami tidak berani menyebut nama Durga blak-blakan,
biasanya kita membuat nama yang menyamarkan nama Durga, seperti Ratu Ayu, Ida
Bhatari Dalem atau Ratu Mas”. Ibu Durga itu semakin penasaran dengan
perkembangan Dewi Durga di Bali. Akhirnya saya diundang untuk memberikan
presentasi tentang Bhatari Durga di New Delhi India pada tahun 2008 sebelum
melanjutkan presentasi di Berlin, Jerman dalam tahun yang sama.
Sedangkan di Indonesia, saya
mengadakan penelitian di Jawa terlebih dulu karena pemujaan Bhatari Durga
bermula dari Jawa lalu bergeser menuju Bali yang mana sampai sekarang tetap
dilaksanakan walau dengan cara yang berbeda dibanding dengan pemujaan di jaman
lampau. Di Indonesia, saya juga mewawancarai banyak orang dari berbagai lapisan
masyarakat, seperti pemangku, pedanda, masyarakat awam, para akademisi serta
para balian.
Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di India
Pada mulanya Bhatari Durga
digambarkan sebagai Dewi Perang yang cantik jelita dengan jumlah tangan mulai
dari empat sampai dua belas dimana setiap tangannya memegang senjata yang
sangat ampuh dan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Menurut (Mookerjee, 1988:8 dan
Agravala, 1963), sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam sloka suci Devi
Mahatmya, sebuah sisipan penting dari Markandeya Purana (digubah pada abad ke- 6th Masehi),
diceritakanlah lahirnya Bathari Durga sebagai berikut:
Pada jaman dulu, sorga loka diserang oleh rakasa bersama pasukannya yang
dipimpin oleh Mahisasura yaitu raksasa berkepala kerbau. Raksasa tersebut
sangat sakti dan tak terkalahkan oleh pasukan para dewa di sorga. Pada saat
penyerangan tersebut, Dewa Siwa sedang bertapa di Gunung Kailasa, puncak
tertinggi dari pegunungan Himalaya. Raksasa Mahisasura menduduki sorga loka
sehingga para dewa morat-marit berlarian kemana-mana untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya para dewa memutuskan untuk pergi ke puncak Kailasa memberitahukan Dewa
Siwa tentang keadaan di sorga loka. Dewa
Siwa yang sedang meditasi menjadi sangat murka mendengar kabar kalau sorga
telah diobrak-abrik oleh pasukan raksasa raja Mahisasura dan tahta sorga telah
diduduki oleh raja Mahisasura. Saking murkanya maka dari kedua kening Dewa Siwa
muncullah pancaran cahaya yang luar biasa dahsyatnya. Demikian juga dari kedua
kening para dewa lainnya muncul cahaya yang menyatu dengan cahaya Dewa Siwa.
Dari kumpulan cahaya para dewa tersebut muncullah sesosok Dewi yang luar biasa
cantiknya bertangan delapan yang membuat para dewa sangat senang melihat
kelahiran dewi tersebut. Karena para dewa tahu bahwa musuh mereka tidak dapat
dikalahkan oleh para dewa, maka para dewa yakin bahwa Mahisasura akan tunduk
dan terkalahkan oleh sosok perempuan cantik. Maka sepakatlah para dewa untuk
mengirimkan Dewi yang cantik ke medan laga.
Karena Sang Dewi akan dikirim ke medan perang maka dari itu para dewa
perlu menganugrahi Dewi itu senjata-senjata sakti supaya bisa mengalahkan
Mahaisasura. Lalu, Dewa Siwa menganugrahkan Tri Sula, Wisnu menganugrahkan
Cakra, Brahma menganugrahkan Gada, Indra menganugrahkan Bajra dan juga
dewa-dewa lainnya, sehingga kedelapan tangan Dewi tersebut berisi senjata
mahasakti. Dewi yang baru tercipta dari cahaya para dewa akhirnya diberi nama
Dewi Durga yang berarti “Seorang Dewi yang Sulit Dikalahkan”. Untuk melengkapi
sarana perang Dewi Durga dianugrahi Singa oleh Dewa Siwa dalam penjelmaannya
sebagai Bhanaspati Raja (Raja Hutan) sebagai wahananya dalam perang melawan
pasukan raksasa Mahisasura. Setelah Dewi Durga dibekali mantra-mantra kesaktian
dari para dewa dan siap dengan peralatan perangnya maka pergilah Dewi Durga
dengan wahana Singanya ke medan laga sendirian menantang Mahisasura untuk
berperang. Dengan suara nyaring Dewi Durga memanggil Mahisasura dan
menantangnya untuk berperang.
“Wahai Raja Mahisasura, keluarlah ke medan laga, lawanlah aku
bertempur!”, tantang Dewi Durga.
Mendengar tantangan seorang perempuan dan melihat betapa cantik
perempuan yang menantangnya, maka Mahisasura pertamanya tidak mau melawan dan
diapun berkata kepada Dewi Durga,
”O Sang Dewi yang maha cantik, kenapa harus berperang melawanku, apakah
tidak lebih baik kalau kita bertempur di tempat tidur saja?”
Tertawalah Dewi Durga mendengar tawaran raja raksasa sambil menjawab,
“hahaha…..hanya lelaki yang bisa mengalahkan aku di medan perang berhak
bertempur denganku di tempat tidur”.
Murkalah Mahisasura atas jawaban Dewi Durga yang merendahkan kesaktian
Mahisasura. Rasa kejantanannya sangat tertantang untuk segera menundukan dan
mengalahkan Dewi Durga supaya bisa mengajaknya ke tempat tidur. Akhirnya mereka
berperang mengadu kesaktian. Dalam adu kesaktian, Mahisasura mengubah wujudnya
beberapa kali tetapi tetap dia selalu bisa dikenali dan dilumpuhkan oleh Dewi
Durga. Terakhir kali, Mahisasura berubah menjadi kerbau yang ganas. Singkat
cerita, Dewi Durga dapat mengalahkan Mahisasura dengan memenggal kepala
Mahisasura yang berupa kerbau tersebut.
Dengan kalahnya Mahisasura, maka para dewa memuji-muji Dewi Durga dengan
mantra-mantra pujian. Sejak saat itu, Dewi Durga diberi nama Durga
Mahisasuramardini, yang berarti “Dewi Durga yang telah mengalahkan raksasa
Mahisasura”.
Begitulah cerita singkat tentang lahirnya Bhatari Durga di India. Di
India, Durga selalu digambarkan sebagai Dewi yang cantik dan selalu dipuja demi
kemenangan. Ada mandir-mandir khusus dipakai tempat memuja Durga, ada hari suci
yang khusus untuk memuja Dewi Durga yang disebut Durga Puja, yang biasanya
jatuh pada bulan Oktober. Pada saat Durga Puja, biasanya perayaannya dilakukan
dengan membuat pandal[4]
yang berisi arca Tri Sakti: Maha Saraswati, Maha Durga, Maha Laksmi. Di
antara Tri Sakti; Dewi Saraswati, Dewi Laksmi dan Dewi Durga, maka Dewi Durga
lah yang paling banyak dipuja di India. Biasanya di dalam pandal ini, Dewi Durga digambarkan sebagai Dewi Durga
Mahisasuramardani dimana arcanya memperlihatkan kekalahan raksasa Mahisasura.
Saya sendiri sempat menyaksikan bagaimana perayaan Durga Puja dilaksanakan di
Culcatta dan Varanasi.
Berikutnya, saya akan membahas tentang bagaimana pemujaan serta
perkembangan Bhatari Durga di Nusantara.
Perkembangan Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di Jawa dan Bali
Di Nusantara, arca Bhatari Durga
dalam bentuk Durga Mahisasuramardini telah ditemukan di beberapa candi di Jawa
Barat pada abad ke-6th Masehi (Hariani Santiko, 1987), dan arca
Durga Mahisasuramardini banyak ditemukan di Jawa Tengah terutama pada
candi-candi Hindu beraliran Siwa, seperti misalnya di Candi Prambanan, dimana
arca Durga Mahisasuramardini ditemukan di bagian utara candi Siwa. Pemujaan
terhadap Bhatari Durga biasanya dilakukan oleh para raja untuk memohon
kemenangan dalam perang. Tetapi Durga juga dipuja oleh kaum Brahmana, Wesya dan
Sudra untuk mendapatkan perlindungan dari musuh. Setelah pindahnya kekuatan
kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 Masehi,
pemujaan terhadap Durga juga dilakukan oleh para raja di Jawa Timur seperti
Kediri, Singosari dan Majapahit. Peninggalan dari arca Durga di Jawa Timur
ditemukan di beberapa candi Hindu seperti Candi Singosari, Candi Sambisari,
Candi Gedong Songo, dimana arca Durga masih punya ciri-ciri yang sama dengan
arca di Jawa Barat, Jawa Tengah sedangkan arca Durga yang ditemukan di Jawa
Timur telah mulai mengalami perubahan yang radikal yaitu arca Durga digambarkan
sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini bertaring (Hariani Santiko, 1987).
Penggambaran Dewi Durga yang lebih
ektrim ditemukan di relief Candi Penataran dan Candi Tigawangi dimana Durga
telah digambarkan sebagai Dewi Raksasa dengan tubuh tinggi, rambut acak-acakan,
bertaring dan mata melotot.
Di Bali, berdasarkan prasasti yang
dikeluarkan oleh Anak Wungsu (kira-kira abad ke 11 Masehi) banyak menyebutkan
pemujaan terhadap Durga, sedangkan beberapa arca yang kita temukan di Bali pada
jaman Anak Wungsu masih menggambarkan ciri-ciri khas Durga Mahisasuramardini
tetapi telah ada akulturasi dengan budaya local. Misalnya arca Durga
Mahisasuramardini yang terdapat di Pura Dalem Kutri, Buruan, Gianyar, Durga
digambarkan memiliki delapan tangan yang semua memegang senjata tetapi salah
satu tangan Durga memegang keris yaitu senjata khas Bali dan absennya gambaran
Mahisasura dalam Durga Kutri. Di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar juga
ditemukan beberapa arca Durga Mahisasuramardini, tetapi oleh penduduk lokal
arca tersebut dinamakan Ratu Pasek, sama halnya dengan arca Durga
Mahisasuramardini di Candi Prambanan, orang awam menyebutnya Loro Jongrang.
Pada saat ini, kalau kita berbicara
tentang Bhatari Durga, yang ada dalam benak kita orang kebanyakan adalah Durga
yang disamakan dengan sosok Rangda, yaitu suatu image yang menyeramkan dengan
sosok tinggi besar, rambut panjang awut-awutan, mata melotot, lidah menjulur
dan bersemayan di kuburan Ganda Mayu. Demikianlah image yang diceritakan oleh
generasi pendahulu seperti kakek saya dan orang-orang di kampong saya. Dan
gambaran serupa tentang Dewi Durga juga dapat kita buktikan dalam literature
dan visual seperti cerita Sudamala, Andha
Bhuwana dan Calon Arang sedangkan
bukti secara visual bisa kita lihat di relief candi-candi di Jawa seperti Candi
Tigawangi dan Candi Sukuh dan di beberapa pura Dalem di Bali.
Berdasarkan
bukti tertulis dan bukti visual, saya membuat spekulasi tentang faktor-faktor
yang mungkin menyebabkan perubahan/perkembangan radikal Durga dari sosok Dewi
Perang yang cantik jelita menjadi Dewi Raksasi yang menyeramkan setelah
pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (abad ke-10 sampai
15 Masehi) dan di Bali sampai saat ini.
Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
- Sosok Bhatari Durga sebagai
dewi perang mungkin dianggap terlalu ektrim dan terlalu provokatif oleh
masyarakat yang menganut system patriarki terutama di Jawa dan Bali
walaupun sebenarnya ada tokoh Sri Kandi dianggap anomaly dan diterima
dalam masyarakat.
- Pencitraan Bhatari Durga dalam beberapa
literature (Ghatotkacasraya) dan prasasti (Petak dan Trilokyapuri) yang
digambarkan sangat senang menerima persembahan sesajen berupa daging
mentah dan darah, pencitraan seperti ini ditemukan dalam prasasti bagian
kutukan terhadap orang yang berani melanggar aturan-aturan yang diterapkan
dalam prasasti untuk menjaga keamanan wilayah sima atau tanah milik komunal seperti tanah pengempon pura di Bali.
- Perkembangan lebih lanjut yang
terjadi pada Dewi Durga berdasarkan karya sastra Calon Arang adalah Dewi Durga disamakan atau dikelirukan
dengan pemuja setianya yaitu Rangda ing Dirah. Hal ini, menurut pemikiran
saya adalah adanya kerentanan status janda (rangda) bagi perempuan di
dunia. Kalau janda itu cantik tentu akan banyak mendapat godaan dari
laki-laki dan juga akan banyak dicemburui oleh kaum perempuan.
Takdir Seorang Dewi: diciptakan, dipuja, dituduh dan dikutuk
Dalam makalah singkat ini, saya
hanya ingin mengkaji dan membandingkan pemujaan dan pencitraan Durga di India
dan Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perubahan radikal pada
Dewi Durga telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Pada prinsipnya
pemujaan terhadap Durga tetap dipertahankan yaitu untuk mengalahkan para musuh,
tetapi musuh jaman sekarang tidaklah sama dengan musuh di jaman lampau.
Misalnya pada jaman kerajaan di masa lampau seperti yang diceritakan dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular
(1365-1389 Masehi) pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari jaman
Majapahit, raja-raja yang dibantu oleh para pandita (Siwa-Buda) menyembah Durga
sebagai Dewi Perang supaya bisa memenangkan pertandingan. Dalam cerita Sutasoma dipaparkan bahwa baik Raja
Sutasoma (Buda) maupun Raja Purosada (Siwa) menyembah Durga sebelum ke medan
perang. Durga sebagai dewi yang maha pengasih dan penyayang, tentu memberikan
anugrah kepada siapapun yang memujanya dengan khidmat (Zoetmulder 1974: 331).
Di samping dipuja-puja
untuk menang perang, Dewi Durga juga dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma
seperti yang dipaparkan dalam versi kidung
Sudamala (digubah antara 1365-1406 Masehi) pada jaman pemerintahan
raja-raja di Jawa Timur. Sedangkan kalau di Bali perselingkuhan Dewi Durga
(Uma) dipaparkan dalam cerita Rare Angon,
dimana Dewi Uma dituduh berselingkuh dengan seorang pengembala sapi (jelmaan
Dewa Siwa sendiri). Sepenggal cerita perselingkuhan Dewi Durga dalam versi kidung Sudamala adalah sebagai berikut:
Diceritakan bahwa Sang Hyang Tunggal,
Sang Hyang Asihprana dan Sang Hyang Wisesa mengadakan pertemuan di istana Ida Bhatara
Guru, rajanya para dewa. Mereka membicarakan kelakuan yang salah Dewi Sri Uma,
istri Bhatara Guru, dimana Dewi Uma telah dituduh berselingkuh dengan Dewa
Brahma. Bhatara Guru sangat murka mendengar kabar perselingkuhan istrinya,
serta merta Bhatara Guru mengutuk istrinya yang cantik menjadi Durga dengan
sosok raksasi yang menyeramkan. Uma yang terkutuk digambarkan sebagai sosok
raksasi berubuh besar tinggi, rambut awut-awutan, mata bagaikan matahari
kembar, mulutnya bagaikan goa dengan taring tajam dan panjang, lobang hidungnya
bagaikan sumur kembar, dan seluruh tubuhnya penuh dengan bentolan dan loreng.
Di dalam kidung Sudamala, tidak hanya dikutuk untuk
menjelma menjadi dewi raksasi, Dewi Durga juga diturunkan dari kahyangan dan
bersemayam di setra ganda mayu dan memangsa mayat untuk kelangsungan hidupnya.
Dewi Durga raksasi hanya akan bisa kembali berubah wujud menjadi dewi yang
cantik apabila telah disupat atau diruwat oleh Dewa Siwa sendiri melalui
Sahadewa anak bungsu dari Panca Pandawa. Untuk bisa tetap bertahan hidup, Dewi
Durga mempunyai banyak sisya yang menyebabkan penyakit makhluk hidup lalu mati.
Dewi Durga akan menganugrahi kesaktian kepada siapapun yang mau mempelajari
‘black-magic’ supaya pemujanya menjadi sakti sehingga lebih banyak santapannya
apabila banyak orang yang meninggal akibat ulah dari para sisyanya. Tetapi
Bhatari Durga juga berpesan kepada pemujanya agar tidak membunuh orang-orang
tanpa dosa, “tan wenang kita amati wong
tanpa dosa”
Itulah kisah dari
terkutuknya Dewi Uma yang cantik menjadi Durga yang menyeramkan versi
Indonesia. Ketika saya bertanya pada orang-orang di India mengenai cerita Sudamala tersebut, baik sarjana maupun
orang awam tidak mengetahui cerita tentang perselingkuhan istri Dewa Siwa
dengan Dewa Brahma yang akhirnya kena kutuk. Cerita Sudamala adalah hasil pemikirin pengawi
atau sastrawan Indonesia yang telah disisipi ide dan norma-norma, tradisi
local untuk memposisikan perempuan di dunia patriarki. Perempuan cantik adalah
sosok yang dipuja-puja dan dalam waktu yang bersamaan juga sangat rentan untuk
terkena gossip maka terjadilah perubahan citra dari perempuan pujaan menjadi
perempuan terkutuk. Citra perempuan akan kembali cantik apabila telah diruwat
(diperistri) oleh laki-laki.
Kesimpulan
Mitos dan Pemujaan terhadap Dewi
Durga mengalami perjalanan dan proses yang panjang dan berliku mulai dari asal
mulanya di India lalu menyebrang samudra luas sampai ke Nusantara, khususnya
Jawa dan Bali. Berdasarkan sejarah perkembangan Dewi Durga, bisa kita ambil
kesimpulan sebagai berikut:
- Pada dasarnya tujuan pemujaan terhadap Dewi Durga adalah sama seperti tujuan utama penciptaan Dewi Durga yaitu untuk menang perang melawan musuh; dimana menurut kepercayaan Hindu musuh itu banyak macamnya. Bagi saya musuh yang paling sulit dikalahkan adalah musuh dalam diri kita sendiri yang berupa sad ripu (kama: nafsu, lobha: tamak, krodha: kemarahan, moha: kebingungan, mada: mabuk, matsarya: dengki, iri hati).
- Betapapun garangnya laki-laki, biasanya dia bisa ditaklukkan oleh perempuan cantik.
- Sangatlah susah menjadi perempuan cantik apalagi punya prestasi, akan banyak gossip dan tuduhan miring terhadap perempuan tersebut.
- Perempuan akan bisa kembali cantik apabila diruwat oleh laki-laki.
Referensi Pustaka:
Agravala, V.S
1963 The Glorification of the Great Goddess. Varanasi: India Khasiraj
Trust.
Ariati, Ni Wayan Pasek
2010 The Journey of the Goddess Durga: India,
Java and Bali. Disertasi PhD di Charles Darwin University (CDU), Darwin,
Australia.
Mookerjee, Ajit
1988 Kali: The Feminine Force. London: Thames and
Hudson Ltd.
Santiko, Hariani
1987 Kedudukan Bhatari Durga di Jawa Pada Abad X-XV Masehi. Disertasi
PhD Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
[1]
Penulis adalah Direktor Akademis
program SIT Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change yang
berlokasi di jalan Samuan Tiga No.1, Bedulu, Gianyar.
[2]
Makalah ini bersifat semi-ilmiah karena banyak perspektif pribadi dimasukkan
dalam tulisan ini. Kalau mau membaca yang ilmiah, silakan baca disertasi saya
yang berjudul “The Journey of the Goddess Durga: India, Java and Bali”
[3]
Jatra adalah perjalanan suci di sekitar tempat tinggal kita, sedangkan Yatra
adalah perjalanan suci menyebrang lautan atau pegunungan.
[4]
Pandal adalah semacam kuil sementara
terbuat dari gabus dengan arca Tri Sakti di dalam pandal tersebut.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteTerima kasih kembali atas appresiasinya
DeleteVannakam,
ReplyDeleteTerima kasih atas disertasinya, smoga kdepanya akan bnyak org yg mengerti akan siapa sosok durga n manifestasinya, devi kali.
Terima kasih banyak semoga disertasi saya segera terbit.
DeleteOsa...dimana bisa mendapat disertasinya?
ReplyDeleteSedang diusahakan untuk diterbitakan di India. Doakan nggih!
DeleteOsa...dimana bisa mendapat disertasinya?
ReplyDeleteDear Arya, tahun depan mudah-mudahan sudah terbit di India. Terima kasih atas perhatiannya.
DeleteLuar biasa... hidup wayang indonesia
ReplyDeleteMakasih banyak atas perhatiannya
DeleteSalam Rahayu Ibu Wyn.Ariati....
ReplyDeleteSy senang bisa lebih mendalam untuk tau sosok "Betari Durga" dan sy bisa mengambil kesimpulanya dari ceritra yg sudah di artikelkan oleh ibu Wayan dengan Realita kehidupan dimana sy bisa memulai tau hingga saat ini. Matur suksma artikelnya ibu Wayan....semoga bisa lebh mendalam lg yg bisa dikemukakan melalui penelitian yg sdh ibu jalankan.
Rahayu.....
Darma Putu, suksma nggih. Semoga bukunya terbit segera karena sudah dibukukan di India.
Deleteterimakasih atas infonya
ReplyDeleteHendra, suksma nggih atas perhatiannya. Kita tunggu penerbitan bukunya.
DeletePostingan nya sangat menarik sekali.
ReplyDeleteThanks Winda...
DeleteLuar biasa. Pencerahan dan penambah pengetahuan bagi saya tentang Durga. Bolehkah saya mendapatkan info tentang buku Calon Arang? saya masih penasaran dengan sosok Randa dari Girah, dan juga saya butuhkan untuk menulis buku. Terimkasih.
ReplyDeleteSalam kenal.
Halo mbok Wayan Ariati, saya suka sekali dan juga tertarik tentang dewi Durga. Apakah bukunya sudah terbit ? Ato mungkin ada email, email saya ongkodanang@gmail.com . Terima kasih
ReplyDeleteHalo Mbo Wayan, saya tertarik dengan sosok Dewi Durga. Di mana saya bisa mendapatkan bukunya Mbo? Mohon email saya: morningsinners@gmail.com. Suksma - Manda
ReplyDeleteSekarang sudah 2018, apakah buku tentang penelitian ini sudah terbit?
ReplyDeleteSalam Rahayu mbak Wayan Ariati ...sangat menarik, mencerahkan .. Sepertinya memang demikian adanya...Takdir Seorang Dewi: diciptakan, dipuja, dituduh dan dikutuk .."kesalah pahaman" yang fatal, prosesnya mirip2 dengan imej yg ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul ... yg sejatinya adalah welas asih ... matur suksma ...
ReplyDeleteTabik Pakulun Hyang Ibu Bhatari Dalem Durga Dewi
ReplyDelete