Monday, February 11, 2013

Peranan Kerudung bagi Wanita Hindu dan Muslim


an Hindu woman in Aligarh, India


Bagaimana wanita harus menutup kepala mereka dengan kerudung yang diistilahkan purdah untuk wanita Hindu dan burkah untuk wanita Muslim di India dan jilbab bagi wanita di Indonesia. Secara umum wanita Hindu di India yang juga berlaku bagi wanita Indonesia yang masih mentaati tradisi lama dimana wanita disarankan dan diharapkan untuk mengikuti aturan tertentu seperti misalnya bertingkah laku sederhana, bicara lemah lembut, gerakan yang anggun. Wanita sebaiknya tampil malu, menghindari tatap mata secara langsung dengan lawan jenis, tak bicara keras-keras apalagi terbahak-bahak. Dianggap tak sopan kalau berbicara dengan lawan jenis apalagi laki-laki yang tak punya hubungan kekerabatan dengan wanita tersebut.

Menurut tradisi lama di India, wanita Hindu hendaknya berada di dalam rumah dan tidak mencampuri urusan laki-laki. Seorang istri muda tidaklah layak memperlihatkan rasa cintanya terhadap suaminya. Kalau sedang berbicara dengan suaminya atau dengan laki-laki lain di keluarganya maka demi kesopanan mereka harus menutupi mulut dengan tangan atau kain purdahnya. Baik laki-laki maupun wanita punya tempat terpisah baik dalam keluarga maupun di luar rumah. Misalnya laki-laki tidur berpisah dengan perempuan kecuali lelaki tersebut harus menunaikan tugasnya sebagai suami.

Istri muda punya hak yang sangat terbatas di dalam keluarga suaminya namun punya kewajiban yang sangat banyak. Istri muda harus memakai kerudung di hadapan anggota keluarga lainnya terlebih-lebih di hadapan anggota keluarga yang berlainan jenis. Pemakaian kerudung sedikit berkurang di hadapan anggota keluarga sesame jenis (ibu mertua, kakak atau adik ipar perempuan) apabila perannya sebagai istri telah terpenuhi dengan melahirkan anak pertama. Pasangan muda diharapkan untuk tidak banyak terlibat langsung di dalam percakapan langsung di depan umum. Keterbatasan hak bagi istri muda juga terjadi pada masyarakat Hindu maupun Islam di Indonesia terutama keluarga yang mengikuti pola patrilinial. Bedanya wanita Hindu di Indonesia terutama di Bali, mereka tidak harus memakai kerudung dalam kehidupannya sehari-hari.

Wanita hendaknya tidak keluar rumah tanpa ijin dari anggota keluarga yang lebih tua atau wanita harus ditemani oleh anggota keluarga laki-laki kalau harus keluar rumah. Kalaupun wanita harus bekerja di luar rumah maka wanita itu harus tetap mempertahankan nilai tradisinya. Mereka harus menutup wajah mereka dengan purdah terlebih-lebih ketika didekati oleh pegawai laki-laki. Tugas berbelanja biasanya dilakukan oleh laki-laki, dan kalau wanita harus berbelanja maka mereka harus menutup wajah sepenuhnya.

Wanita India tidak banyak mengambil peran dalam melaksanakan upacara, peran keagamaan lebih dominant dilakukan oleh laki-laki. Di tempat-tempat pemujaan yang disebut mandir dijaga dan dilayani oleh kaum Brahmana laki-laki. Sedangkan wanita Hindu Bali punya perang yang sangat penting di dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Tanpa terlibatnya kaum wanita upacara kemungkinan besar tidak dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh wanitalah yang tahu seluk beluk bagaimana membuat sesajen yang sangat rumit dan banyak, maka dari itu tanpa wanita upacara tak kan berlangsung. Jadi peran wanita Hindu di Bali bias dikatakan hamper setara dengan peran kaum lelaki dalam hal kelangsungan upacara keagamaan. Memang ada batasan yang membedakan peran dan tugas para wanita dan laki-laki.

Para istri yang dianggap membawa bencana sekalian berkah bagi keluarga si suami. Secara kenyataan memang seorang istri harus membawa “mas kawin” yang berupa tanah, mobil, rumah, segala keperluan penganten baru (jika keluarga si wanita kaya). Kalau keluarga si wanita miskin atau keluarga si suami serakah, tidak jarang ada berita yang mengabarkan adanya pembunuhan penganten wanita dengan cara dibuatnya wanita seperti kecelakaan bahwa sarinya terkena api ketika sedang memasak di dapur.  Dengan terbunuhnya penganten wanita maka si laki-laki kemungkin besar akan mendapatkan “mas kawin” lebih banyak lagi kalau dia menikah lagi dengan wanita yang lebih kaya dari istri pertamanya. Masalah “mas kawin” tidak berlaku bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun baik di Bali maupun India keduanya mengenal system kawin yang diatur oleh orang-tua.

Ada sanksi-sanksi yang sangat keras terhadap wanita yang melanggar ketentuan atau yang berlawanan dengan tradisis lama. Para tetangga akan menggosipkan para wanita yang tidak menikah, janda terlebih-lebih janda muda. Janda di India tidak diperkenankan untuk menikah apabila suaminya telah meninggal. Janda tersebut mesti memakai sari atau pakaian putih dan tidak diperkenankan memakai perhiasan. Maka kalau di India kita tahu kalau seorang wanita yang mamakai sari putih maka dia sudah tak bersuami lagi. Yang lebih fenomenal adalah jika seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya memantapkan niatnya untuk mengadakan satya dengan cara menceburkan diri ke kobaran api pengabenan suaminya, dengan pertimbangan bahwa lebih baik mati ikut suami daripada harus menjalani hidup yang dikungkung tradisi, terhina dan dituduh sebagai penyebab kematian suami. Sati yang baru-baru ini dilaporkan dalam berita dilakukan pada tahun 1985 oleh seorang wanita muda sekitar 18 tahun bernama Roop Kanwar. Kini di tempat dilakukan sati didirikan semacam candi untuk orang yang percaya bahwa roh seorang Sati bias memberikan penugrahan. Tuduhan sebagai penyebab kematian si suami juga dipercaya oleh masyarakat Hindu di Bali. Hal ini berdasarkan bukti tertulis berbentuk puisi maupun prosa dapat ditelusuri jauh ke jaman lampau pada masa pemerintahan Raja Erlangga (abad ke 10-11 CE) di mana si Janda dari Dirah (Rangda ing Dirah) telah dituduh membunuh suaminya dengan cara teluh (semacam ilmu hitam). Bedanya di Bali para janda tidak harus memakai pakain warna putih setelah ditinggal mati suamnya, atau istri tidak harus melakukan Sati (Bahasa Bali: mesatya) jika suaminya meninggal. Kasus terakhir praktek sati di Bali  dilakukan pada jaman kerajaan pada tahun 1930-an yang dilakukan oleh kaum kesatriya atau istri para raja. Akhirnya penjajah Belanda (1896-1946) melarang pelaksanaan Sati di Bali.

Seorang istri yang dianggap membawa bencana ke dalam keluarga si suami tidak jarang akan mendapat perlakuan kasar secara fisik dari si suami atau disiksa secara verbal oleh anggota keluarga yang perempuan. Wanita akan benar-benar merasa tertekan apabila mereka tidak mendapatkan keturunan setelah menikah bertahun-tahun. Tak jarang akan dicarikan madu atau dipulangkan ke rumah orang-tua mereka tanpa menyandang status yang jelas. Para menantu muda belajar dan meniru perlakuan ibu-mertua mereka di mana kemungkinan besar telah memendam rasa benci, jengkel dan tak kuasa bagaikan bom waktu. Suatu saat ketika setelah cukup kuasa dan mandiri dari pengaruh mertua rasa dendam tersebut akan keluar diledakkan pada para menantu mereka, dengan alas an untuk mempertahan status, tradisi, kekayaan keluarga.

Kenapa Wanita harus memakai Purdah?

Menurut Mendelbaum, ada dua alasan utama kenapa wanita harus memakai purdah yaitu menghindari bahaya yang mengancam wanita ketika sedang keluar rumah dan menghidari bahaya dari anggota keluarga wanita dalam lingkungan keluarga itu sendiri. Bahaya pertama yaitu bahaya yang datangnya dari laki-laki di luar lingkungan keluarga karena merupakan hal yang lumrah kalau laki-laki bias saja berbuat yang tak senono terhadap wanita yang bepergian sendirian apalagi pria itu tak kenal dengan wanita tersebut. Laki-laki tidak akan sembarangan berbuat jahat terhadap wanita di lingkungan yang dikenalnya. Bahaya kedua yaitu bahaya yang dating dari wanita dalam lingkungan rumah itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena factor kekuasaan, kecemburuan dari wanita yang telah lebih lama menjadi anggota keluarga di dalam keluarga si suami. Apakah itu ibu mertua, adik atau kakak ipar perempuan semua merasa tersaingi oleh kedatangan penganten wanita dalam keluarga mereka. Mereka kwatir jangan-jangan kasih saying anaknya tertumpah hanya pada istrinya. Pemakaian purdah sangat penting terlebih-lebih jika menghadapi mertua laki-laki atau anggota keluarga laki-laki yang lain. Istri muda tidak boleh mengadakan kontak mata dengan ayah mertua, sehingga purdah merupakan alat yang paling efektif untuk menutupi wajah ketika sedang berhadapan dengan ipar laki-laki atau ayah mertua. Ayah mertua semestinya tidak boleh memasuki kamar menantunya, walaupun itu terjadi dimana ayah mertua didapati sedang berada di kamar menantu dengan apapun alasannya, si menantu tidak punya hak untuk memarahi mertuanya. Menjadi tugas ibu mertua, si istri yang berhak memberi pelajaran bagi mertua yang lancing masuk ke kamar menantu wanita.

Sudah barang tentu bahwa meneruskan keturunan adalah factor utama diadakan pernikahan walaupun wacana ini tidak berlaku bagi seluruh negeri di dunia. Para istri dianggap sebagai perusak atau pembawa berkah bagi keluarga si suami atau dianggap sebagai penerus garis patrilinial. Kehormatan ada di tangan wanita, seandainya laki-laki sukses dalam perkawinan, usaha maka si istri dianggap sebagai Laksmi tetapi kalau si istri membawa sial bagi keluarga si lelaki maka si istrilah yang dipersalahkan. Kurang puasa, kurang bakti terhadap suami atau yang lebih menyakitkan akan dituduh sebagai orang yang mempraktikkan ilmu hitam dan mengorbankan si suami atau anggota keluarga lain sebagai tumbal atas ilmu hitamnya. Walaupun keluarga si suami sukses dalam segala hal, tetapi ada anak perempuan dalam keluarga tidak mendapatka jodoh sampai umur tertentu atau gagal mendapatkan suami yang layak maka hal itu juga dianggap sial, jadi keluarga suami tetap dipandang tak terhormat.

Purdah bagi wanita Hindu, Burkah bagi wanita Islam

Di India baik wanita Hindu maupun wanita Islam keduanya mesti memakai kerudung yang keduanya disebut purdah. Burkah di Indonesia hanya dipakai oleh kaum wanita Muslim dan namanyapun telah disesuaikan dengan kata Arab yaitu jilbab. Menurut kepercayaan lama bahwa wanita berada di bawah kekuasaan kaum lelaki, maka dari itu kaum wanita setuju untuk menutupi diri di hadapan laki-laki. Wanita harus tertutup dari interaksi dunia luar, kecuali orang yang bekerja di tempat terhormat seperti menjadi anggota DPR atau MPR, menjadi guru dianggap kurang terhormat.

Walaupun baik wanita Hindu maupun wanita Muslim memakai kerudung namun wanita Muslim lebih disiplin di dalam pemakaian kerudung karena mentaati ketentuan agama, di dalam Al Quran disebutkan bahwa pemakaian burkah adalah kehidupan sejati wagi wanita Muslim. Sedangkan wanita Hindu memakai kerudung untuk melindungi diri dari bahaya luar maupun dalam rumah dan lebih mengatasnamakan kepatuhan kepada suami atau pativrata. Sepertinya tradisi pemakaian purdah bagi wanita Hindu di India tidak mempengaruhi wanita Hindu di Bali atau Indonesia. Wanita Hindu di Bali memang tidak harus memakai pudah tetapi tradisi yang lain yang sangat mendasar tetap ada yang dipakai sebagai acuan dalam kehidupan dalam masyarakat Hindu. Seperti misalnya, wanita harus bias bikin banten, bias memasak, melahirkan anak, hormat terhadap orang-tua dan anggota keluarga lain dan siap untuk menjadi anggota keluarga si suami sekalian menjadi anggota resmi (krama banjar) di masyarakat dimana mereka tinggal. Wanita Hindu di Bali telah dibentuk oleh budaya dan tradisi local walaupun pengaruh Hindu India masih terasa dalam hal bagaimana si menantu wanita menjadi sasaran segala kesalahan yeng terjadi dalam keluarga si suami. Masih tetap sama dimana keluarga yang melahirkan anak perempuan dianggap kurang menguntungkan disbanding dengan anak laki-laki.

Kebebasan yang terbatas dengan tingkah laku yang dipolakan

Baik wanita Muslim maupun wanita Hindu mempunyai ruang gerak, kegiatan, hubungan social, ruang lingkup maupun kesempatan yang terbatas. Betapapun orang bilang bahwa tak ada perbedaan antara anak laki dan perempuan, tetapi pada kenyataannya anak laki jauh lebih banyak kebebasannya dalam banyak hal. Dilihat dari tradisi berpakaian anak perempuan diharapkan memakai pakaian yang membatasi gerak-gerik mereka. Kain tradisional Jawa dan Bali dan pakaian di beberapa daerah di Indonesia sangat mengekang langkah perempuan. Sedangkan pemakaian purdah selain memberi identitas tersendiri bagi pemeluk Muslim yang soleh, juga dianggap symbol keterbatasan kaum wanita. Wanita tidak leluasa memperlihatkan milik terutama aurat mereka.

Wanita dengan Perubahan Sosial dan Modernisasi
Lately there are many young women wearing jeans without veil




2 comments: