Saturday, December 16, 2023

Life in my Village Three

                                                         Challenges as Farmers

My parents and I are making images of
the Goddess of Rice and God of Money

             

"Sudah tiga kali kita tidak panen padi di sawah karena musim kemarau yang berkepanjangan. Sawah-sawah menjadi kering, ini tidak pernah terjadi sebelumnya", itu gerutu ayahku ketika aku pulang kampung karena aku dirumahkan oleh institusiku karena dunia dilanda pandemic Covid-19 yang bermula di Wuhan, China pertengahan tahun 2019. 

Ada lima (lima) subak di sekitar kampungku, dimana ayah punya sawah di tiga subak terbesar yaitu Subak Dalang, Subak Taman, dan Subak Timbul yang semuanya kekurangan air di musim kemarau 2018-2019. Sedangkan dua subak kecil: Subak Labak dan Subak Sidimara tetap bisa bertahan untuk menanam padi kerana arealnya di bawah aliran kali dimana airnya bisa mengairi dua subak tersebut. 

Pertama, aku tidak begitu peduli dengan keadaan subak-subak di sekitar kampung halamanku, tetapi kini sejak aku dirumahkan (furlough) aku menjadi rajin memantau situasi di kampungku. Aku sendiri kini terjun langsung di bidang pertanian. 

Aku mengolah lahan sawah ayah yang kering yang ditumbuhi alang-alang yang lebih tinggi dariku dengan memangkas dengan mesin lalu kami pakai cakar baja untuk menggemburkan tanahnya. Aku sepakat untuk menanam bibit baru selain padi, aku menanam Nilam (patchouli) serta jagung sebagai tanaman peneduh. 

Pertama kami hanya menanam 500 stek batang yang bibitnya berasal dari Bali, di sela-sela nilam kami menanam jagung Visi Dua sebagai tanaman sekunder/peneduh. Lima ratus (500) Nilam pertama tumbuh dengan subur dengan persentasi kematian hanya 25%. Kami sangat senang dan bersemangat untuk menambah tanaman Nilam di areal sawah yang telah kami siapkan. Kami datangkan 2500 stek batang yang didatangkan dari Jawa untuk ditanam di lahan seluas 80 are (8000 meter per segi), dari 2500 stek yang mati sekitar 90% yang mematahkan semangatku. 

 

Growing Nilam or Patchouli 

Setelah 3 bulan pertama, kami mulai panen jagung, sedangkan nilam kami rawat dengan menyiangi alang-alang yang bersaing dengan nilam. Aku sudah merasa betapa susahnya hidup sebagai petani. Aku menyiram tanaman yang kekeringan, menyiangi yang ditumbuhi alang-alang, sampai saat ini kami belum menikmati hasil dari nilam ini. Sedangkan jagung dimana pemeliharaannya sangat minim telah memberikan hasil payah kami. 

Maka tak mengherankan kalau dulu ayah, ibu, kakek, nenek serta anggota keluarga yang lain menyarankan aku untuk menuntut ilmu setinggi mungkin supaya bisa kerja di sektor lain, selain sektor pertanian. Ibu sangat menginginkan aku menjadi dokter, sedangkan aku paling ga tahan lihat darah. Aku berdoa supaya ga lulus ujian. Doaku terkabul, aku ga lulus test di kedokteran, akhirnya aku kuliah di Mahasaraswati mengambil jurusan pertanian. Kuliahnya malam-malam, aku sering bolos kuliah karena waktu ada film horor yang diputar di gedung-gedung bioskop dengan judul "Leak Ngakak", aku sangat takut pulang malam-malam. 

Dengan background pertanian yang hanya setahun, aku pikir akan bisa sukses untuk bertani Nilam, tetapi setelah pandemic berakhir, Nilam pun semua punah tanpa hasil yang memadai dengan pengeluaranku. Lalu aku beralih ke jahe merah, aku beli 3 paket dengan harga lumayan mahal, dan setelah beberapa tahun, juga gagal. 

Maka dari itu, para petani di kampungku menyarankan anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan di luar dari sektor pertanian. 

Good luck young people, and say goodbye to our beautiful terraced rice-fields which have inherited them since a long time ago, they will disappear in just a few years.  





 








No comments:

Post a Comment