Sunday, August 10, 2014

Gigolo dari Amazon


Just a Gigolo



Wayan Godogan dari Amazon: “Just a Gigolo”

“Bukan hanya manusia yang bisa menjadi gigolo, rupanya katak pun meniru tingkah laku manusia, ikut-ikutan jadi gigolo”. Saya mendengar seorang pengunjung berkata demikian ketika kami menyaksikan pameran habitat hewan amphibi yang digelar di Museum of National History di New York pada musim panas 2007.

Di Bali kita punya cerita rakyat berjudul “I Wayan Godogan“ atau "I Wayan Kodok", yang sering diceritakan oleh nenek saya waktu saya kecil dan juga telah dipentaskan dalam bentuk arja dimana diceritakan bahwa Wayan Godogan ingin mempersunting seorang putri raja untuk dijadikan istrinya. Banyak tantangan yang dihadapi Wayan Godogan dan ibunya di dalam memenuhi keinginnya, namun dia berhasil mempersunting putri raja berkat ketabahannya di dalam menjalani segala cobaan yang ditimpakan kepada Wayan Godogan dan ibunya dalam proses pelamaran sang putri. Di belahan dunia lain, di daerah tropis Guyana, Amazon, Peru dan Brasilia, keluarga Wayan Godogan telah menjelma menjadi Gigolo kawakan.

Pada musim panas 2007 ini penulis sempat mengadakan kunjungan ke beberapa kota di Amerika. Kami tinggal beberapa hari di rumah Prof. Hildred Geertz, seorang anthropolog Amerika terkenal dari Princeton University, New Jersey. Prof. Hilly [nama panggilan beliau] menyarankan agar kami berkunjung ke kota New York karena tidak jauh dari tempat beliau di New Jersey. Kami pun menerima usulan beliau dengan antusias. Pagi-pagi kami naik mobil sewaan menuju terminal metro atau kereta bawah tanah untuk menuju kota New York. Sebenarnya perjalanan ke New York hanyalah tindakan yang spontanitas karena tidak ada tujuan pasti apa yang akan kami lakukan dan apa yang kami lihat di New York, tak ada rencana yang tersusun sebelumnya, semuanya hanya berdasarkan naluri wisata.

Setelah tiba di New York, saya merasa bagaikan rusa masuk kampung, karena memang sesungguhnya saya orang kampung asli. The Big Apple itulah julukan bagi New York yang memang menyuguhkan kehidupan menggiurkan bagaikan apel yang ranum, namun dibalik keranuman sebuah apel ada sesuatu misteri yang mungkin dapat mencelakan orang yang tergoda untuk memakannya. Karena tak tahan godaan maka malapetaka pun mendekat seperti misalnya dalam dongeng Putri Putih Salju. Sang Putri tak tahan melihat buah apel yang ditawarkan oleh ibu tirinya karena sirik atas kecantikannya yang tiada banding lalu menyamar menjadi nenek tua renta datang ke gubuk para kurcaci sambil membawa apel beracun dengan tujuan tiada lain untuk membunuh Putri Putih Salju. Dengan tenang sang ibu tiri yang sirik menyuruh Putri Salju untuk makan apel bagian yang beracun. Makanya setelah makan apel beracun Putri Putih Salju pun tergeletak tak sadarkan diri. 

Dalam teori theologi juga disebutkan dimana Adam dan Hawa yang telah berani makan buah apel yang sengaja diciptakan untuk menggoda mereka, maka menjadi sengsaralah mereka karena tergoda dengan ranumnya si buah apple.

New York memang mirip seperti kisah buah apel yang menggoda, sangat merangsang setiap orang. Kalau orang tersebut punya keberuntungan maka kota New York akan menjadi sorga dunia, tetapi malah sebaliknya kalau Dewi Fortuna tidak berpihak kepada orang bersangkutan maka nerakalah yang ditemuinya.

New York memang terasa berbeda dibanding ketika masih berdirinya dua World Trade Center yang saya kunjungi pada tahun 1996 setelah mengajar di Arizona State University, Tempe, Arizona. Tapi kehidupannya di New York masih tetap seperti dulu, penuh mobilisasi, orang-orang sangat agresif, dan sangat menghargai waktu. Ada rasa takut dan khawatir ketika kami berada di terminal kereta bawah tanah atau metro, terasa nyawa kita terancam oleh kekuatan maya dibalik kejahatan manusia yang memimpikan perdamaian dengan cara meniadakan nyawa orang lain. Tapi syukurlah, saya masih sempat menulis journal kecil ini, yang berarti kami terluput dari ancaman tersembunyi dari makhluk maya tersebut.

Berjalan ke sana ke mari di terik musim panas di jalanan di New York merupakan sesuatu yang dihindari oleh para wisatawan, kecuali pengunjung seperti kami yang tak ada rencana matang sebelum menginjakkan kaki di kota Big Apple. Kaki capai, perut lapar serta panas matahari menyengat, debu jalanan serta polusi kendaraan yang lalu lalang telah membuat kami mengiginkan untuk melakukan sesuatu di dalam ruangan, tidak peduli apapun bentuk kegiatan tersebut pastilah lebih nyaman dibanding dengan jalan-jalan di bawah teriknya matahari.

Akhirnya kami mendekati Time Square dimana lokasi dari Museum of Natural History of New York yang kebetulan saat itu ada pameran menarik sedang berlangsung. Hatiku sangat gembira karena itu berarti kita akan segera masuk ke dalam gedung, terhindar dari sengatan matahari. Ketika memasuki museum, antrean sudah sangat panjang untuk mendapatkan tiket masuk menyaksikan pameran yang ada.

Ada dua pameran yang diminati oleh para pengunjung yaitu “the Life of Frogs dan the Mysterious Creatures”.  Jadi, kami membeli tiket untuk dapat melihat kedua pameran tersebut. Setelah berdiri kira-kira setengah jam, kami pun mendapat tiket masuk. Segera kami menuju ke ruangan “Mysterious Creatures”. Pameran ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang dapat membawa kita seolah-olah memasuki alam misteri. Poster besar dipasang di samping pintu masuk dimana sinar koreografinya sengaja diredupkan supaya lebih menyerupai alam gaib.

Yang membuat saya kaget bagaikan terbawa ke alam niskala Bali yaitu ketika kita memasuki ruangan misteri dimana adanya dipamerkan hasil seni budaya Bali yang tersohor yaitu Barong dan Rangda. Mungkin orang mengira bahwa Barong dan Rangda adalah makhluk misterius sehingga perlu ditampilkan dalam pameran bergengsi tersebut. Saya melongo beberapa saat di hadapan figure Barong-Rangda mengagumi hasil seni budaya putra Bali. Sayang sekali kita tidak dibolehkan ambil photo disana jadi saya tidak bisa mengabadikan Barong-Rangda yang mewakili Myterious Creatures dari pulau tercinta ini. Tapi rasa bangga akan Bali selalu tetap terjaga dalam lubuk hati yang paling dalam. Di museum apa pun yang pernah saya kunjungi salah satu dari hasil seni budaya Bali pastilah ada terpajang dengan anggunya, penuh mesteri, spiritual dan keunikan tersendiri.

Pameran yang lain yang banyak diminati pengunjung adalah “The Life of Frogs”, karena kami memang mempunyai tiket untuk menyaksikan kehidupan para amphibi, maka setelah terseret ke dunia misteri beberapa jam kami pun memasuki dunia penuh dinamika kehidupan sekular seperti yang dijalani makhluk hidup di dunia ini. 

Ketika memasuki ruangan “Kehidupan Amphibi” sudah banyak pengunjung yang antre dari aquarium satu ke yang lainnya. Kami penuh sabar menunggu giliran untuk dapat menyaksikan kodok satu ke kodok yang lainnya. Saya heran, kenapa orang-orang tertarik untuk melihat katak, karena saya sendiri berasal dari kampung pertanian di daerah bagian selatan pulau Bali, jadi kehidupan saya berdampingan dengan para katak. Bahkan waktu kecil saya sering ikut ayah untuk ke sawah dan menangkapi para katak yang berlompatan. Pada malam hari selalu kami mendengar suara katak yang membentuk berbagai melodi membuat tidur semakin nyenyak. Terlebih-lebih pada musim hujan, para katak akan dengan penuh ceria menyanyikan gita alam sekitar menyambut turunnya hujan. Betapa mengagumkan sebenarnya alam di sekitar kita, kalau kita punya waktu untuk merenungkannya dan menikmatinya.

Ternyata para katak yang saya kenal di Bali tidak dipamerkan di ruang Kehidupan Katak, semua jenis yang saya saksikan berbeda dan punya ciri-ciri yang unik serta langka. Yang paling banyak menarik perhatian para pengunjung adalah aquarium habitat amphibi dengan judul “Just a Gigolo”. Saya pun berdesakan ikut ingin tahu apa sebenarnya yang menarik dari katak tersebut. Seorang pengunjung bule menoleh pada saya berkata, “Saya kira hanya manusia yang jadi gigolo, ternyata katakpun mempraktekkan hal tersebut” [dia berkata dalam bahasa Inggris]

Saya tersenyum mendengar komentarnya lalu bilang,”Benarkah? Coba saya lihat“

Dengan penuh perhatian saya mengintip ke dalam aquarium dimana para gigolo tersebut dipamerkan. Dalam hati saya berkata dan tersenyum menyetujui komentar bule tadi, ya memang benar, bukan hanya manusia yang menjadi gigolo namun katak pun tak mau ketinggalan.

Figure berikut adalah photo ”Sang Kodok Gigolo“ yang memang tampan dan menarik.

Sang Gigolo penghuni Amazon yang nama Inggrisnya adalah “Milk Frog“ serta nama Latinnya Trachycephalus resinifictrix dari keluarga Hylidae, dia termasuk binatang amphibia yang bisa hidup di dua tempat yaitu baik di darat maupun di air. Ukuran tubuhnya berkisar antara 3 sampai 4,5 inci atau sekitar 8,9 atau 10, 6 cm. Makanan kegemarannya adalah serangga, dia suka tinggal di cabang-cabang pohon di daerah tropis yang tinggi dan lembab seperti di Guyana, Brazilia, Ecuador, Peru Amazon. Siklus hidupnya berawal dari pembiakan yang terjadi di atas pohon-pohon tropis tinggi. Para betinanya bertelur antara 2000 sampai 3000 di lobang-lobang pohon tinggi yang berisi air. Telur-telur yang berjumlah ribuan tersebut lalu menetas menjadi cebong dalam jangka waktu dua minggu kemudian. 

Nah sekarang, kenapa jenis katak yang hidup di ketinggian pohon-pohon tropis basah tersebut dijuluki Gigolo? Perhatikan foto berikut ini:



Berdasarkan terjemahan bebas dari keterangan photo yang penulis ambil waktu itu, ceritanya begini:

Pada saat musim berkembang biak, sang kodok jantan berusaha untuk menarik perhatian sang betina dengan suaranya yang nyaring untuk datang ke tempat yang telah disediakannya di lobang pohon berisi air di istana pohon tropis. Lalu sang betina tergoda mendatangi panggilan sang jantan lalu dia bertelur di istana air tempat si jantan. Setelah bertelur si betina meninggalkan pasangannya untuk menjaga telur-telur tersebut sampai menetas menjadi cebong atau berudu. Tetapi setelah telur-telur tersebut menjadi berudu, maka si jantan gigolo merayu betina lain untuk mendatangi tempat yang sama agar kawin dan bertelur disana. Sayang sekali, telur-telur dari si betina kedua tidak dipeliharanya tapi bahkan dipakai untuk makanan bagi berudu-berudu yang kelaparan dari betina pertamanya. Dengan mengumbar “Cinta Palsu“, dia telah berhasil memperdayai betina kedua untuk memberi makan anak-anak dari telur-telur hasil perkawinan mereka.

Alam memang penuh kejutan dan selalu menarik untuk dicermati


No comments:

Post a Comment