Just a Gigolo
Wayan
Godogan dari Amazon: “Just a Gigolo”
“Bukan hanya manusia yang bisa menjadi
gigolo, rupanya katak pun meniru tingkah laku manusia, ikut-ikutan jadi
gigolo”. Saya mendengar seorang pengunjung berkata demikian ketika kami menyaksikan pameran habitat hewan amphibi yang digelar di Museum
of National History di New York pada musim panas 2007.
Di Bali kita punya cerita rakyat
berjudul “I Wayan Godogan“ atau "I Wayan Kodok", yang sering diceritakan oleh nenek saya waktu saya kecil dan juga telah dipentaskan dalam bentuk arja dimana diceritakan
bahwa Wayan Godogan ingin mempersunting seorang putri raja untuk dijadikan istrinya. Banyak
tantangan yang dihadapi Wayan Godogan dan ibunya di dalam memenuhi keinginnya,
namun dia berhasil mempersunting putri raja berkat ketabahannya di dalam
menjalani segala cobaan yang ditimpakan kepada Wayan Godogan dan ibunya dalam
proses pelamaran sang putri. Di belahan dunia lain, di daerah tropis Guyana,
Amazon, Peru dan Brasilia, keluarga Wayan Godogan telah menjelma menjadi Gigolo
kawakan.
Pada musim panas 2007 ini penulis sempat mengadakan kunjungan ke beberapa
kota di Amerika. Kami tinggal beberapa hari di rumah Prof. Hildred Geertz,
seorang anthropolog Amerika terkenal dari Princeton University, New Jersey. Prof.
Hilly [nama panggilan beliau] menyarankan agar kami berkunjung ke kota New York
karena tidak jauh dari tempat beliau di New Jersey. Kami pun menerima usulan
beliau dengan antusias. Pagi-pagi kami naik mobil sewaan menuju terminal metro
atau kereta bawah tanah untuk menuju kota New York. Sebenarnya perjalanan ke
New York hanyalah tindakan yang spontanitas karena tidak ada tujuan pasti apa
yang akan kami lakukan dan apa yang kami lihat di New York, tak ada rencana
yang tersusun sebelumnya, semuanya hanya berdasarkan naluri wisata.
Setelah tiba di New York, saya merasa bagaikan rusa masuk kampung, karena
memang sesungguhnya saya orang kampung asli. The Big Apple itulah julukan bagi
New York yang memang menyuguhkan kehidupan menggiurkan bagaikan apel yang
ranum, namun dibalik keranuman sebuah apel ada sesuatu misteri yang mungkin
dapat mencelakan orang yang tergoda untuk memakannya. Karena tak tahan godaan
maka malapetaka pun mendekat seperti misalnya dalam dongeng Putri Putih Salju. Sang
Putri tak tahan melihat buah apel yang ditawarkan oleh ibu tirinya karena sirik
atas kecantikannya yang tiada banding lalu menyamar menjadi nenek tua renta
datang ke gubuk para kurcaci sambil membawa apel beracun dengan tujuan tiada
lain untuk membunuh Putri Putih Salju. Dengan tenang sang ibu tiri yang sirik
menyuruh Putri Salju untuk makan apel bagian yang beracun. Makanya setelah
makan apel beracun Putri Putih Salju pun tergeletak tak sadarkan diri.
Dalam teori theologi juga disebutkan dimana Adam dan Hawa yang telah berani makan buah apel yang sengaja diciptakan untuk menggoda mereka, maka menjadi sengsaralah mereka karena tergoda dengan ranumnya si buah apple.
Dalam teori theologi juga disebutkan dimana Adam dan Hawa yang telah berani makan buah apel yang sengaja diciptakan untuk menggoda mereka, maka menjadi sengsaralah mereka karena tergoda dengan ranumnya si buah apple.
New York memang mirip seperti kisah buah apel yang menggoda, sangat
merangsang setiap orang. Kalau orang tersebut punya keberuntungan maka kota New
York akan menjadi sorga dunia, tetapi malah sebaliknya kalau Dewi Fortuna tidak
berpihak kepada orang bersangkutan maka nerakalah yang ditemuinya.
New York memang terasa berbeda dibanding ketika masih berdirinya dua
World Trade Center yang saya kunjungi pada tahun 1996 setelah mengajar di
Arizona State University, Tempe, Arizona. Tapi kehidupannya di New York masih tetap
seperti dulu, penuh mobilisasi, orang-orang sangat agresif, dan sangat
menghargai waktu. Ada rasa takut dan khawatir ketika kami berada di terminal
kereta bawah tanah atau metro, terasa nyawa kita terancam oleh kekuatan maya
dibalik kejahatan manusia yang memimpikan perdamaian dengan cara meniadakan
nyawa orang lain. Tapi syukurlah, saya masih sempat menulis journal kecil ini,
yang berarti kami terluput dari ancaman tersembunyi dari makhluk maya tersebut.
Berjalan ke sana ke mari di terik
musim panas di jalanan di New York merupakan sesuatu yang dihindari oleh para
wisatawan, kecuali pengunjung seperti kami yang tak ada rencana matang sebelum
menginjakkan kaki di kota Big Apple. Kaki capai, perut lapar serta panas matahari
menyengat, debu jalanan serta polusi kendaraan yang lalu lalang telah membuat
kami mengiginkan untuk melakukan sesuatu di dalam ruangan, tidak peduli apapun
bentuk kegiatan tersebut pastilah lebih nyaman dibanding dengan jalan-jalan di
bawah teriknya matahari.
Akhirnya kami mendekati Time
Square dimana lokasi dari Museum of Natural History of New York yang kebetulan
saat itu ada pameran menarik sedang berlangsung. Hatiku sangat gembira karena itu berarti kita akan
segera masuk ke dalam gedung, terhindar dari sengatan matahari. Ketika memasuki
museum, antrean sudah sangat panjang untuk mendapatkan tiket masuk menyaksikan
pameran yang ada.
Ada dua pameran yang diminati
oleh para pengunjung yaitu “the Life of Frogs dan the Mysterious Creatures”. Jadi, kami membeli tiket untuk dapat melihat
kedua pameran tersebut. Setelah berdiri kira-kira setengah jam, kami pun
mendapat tiket masuk. Segera kami menuju ke ruangan “Mysterious Creatures”.
Pameran ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang dapat membawa
kita seolah-olah memasuki alam misteri. Poster besar dipasang di samping pintu
masuk dimana sinar koreografinya sengaja diredupkan supaya lebih menyerupai
alam gaib.
Yang membuat saya kaget bagaikan terbawa ke alam niskala Bali yaitu ketika kita
memasuki ruangan misteri dimana adanya dipamerkan hasil seni budaya Bali yang
tersohor yaitu Barong dan Rangda. Mungkin orang mengira bahwa Barong dan Rangda
adalah makhluk misterius sehingga perlu ditampilkan dalam pameran bergengsi
tersebut. Saya melongo beberapa saat di hadapan figure Barong-Rangda mengagumi
hasil seni budaya putra Bali. Sayang sekali
kita tidak dibolehkan ambil photo disana jadi saya tidak bisa mengabadikan
Barong-Rangda yang mewakili Myterious Creatures dari pulau tercinta ini. Tapi
rasa bangga akan Bali selalu tetap terjaga dalam lubuk hati yang paling dalam.
Di museum apa pun yang pernah saya kunjungi salah satu dari hasil seni budaya
Bali pastilah ada terpajang dengan anggunya, penuh mesteri, spiritual dan keunikan
tersendiri.
Pameran yang lain yang banyak
diminati pengunjung adalah “The Life of Frogs”, karena kami memang mempunyai
tiket untuk menyaksikan kehidupan para amphibi, maka setelah terseret ke dunia
misteri beberapa jam kami pun memasuki dunia penuh dinamika kehidupan sekular
seperti yang dijalani makhluk hidup di dunia ini.
Ketika memasuki ruangan
“Kehidupan Amphibi” sudah banyak pengunjung yang antre dari aquarium satu ke
yang lainnya. Kami penuh sabar menunggu giliran untuk dapat menyaksikan kodok
satu ke kodok yang lainnya. Saya heran, kenapa orang-orang tertarik untuk
melihat katak, karena saya sendiri berasal dari kampung pertanian di daerah
bagian selatan pulau Bali, jadi kehidupan saya berdampingan dengan para katak.
Bahkan waktu kecil saya sering ikut ayah untuk ke sawah dan menangkapi para
katak yang berlompatan. Pada malam hari selalu kami mendengar suara katak yang
membentuk berbagai melodi membuat tidur semakin nyenyak. Terlebih-lebih pada
musim hujan, para katak akan dengan penuh ceria menyanyikan gita alam sekitar
menyambut turunnya hujan. Betapa mengagumkan sebenarnya alam di sekitar kita,
kalau kita punya waktu untuk merenungkannya dan menikmatinya.
Ternyata para katak yang saya
kenal di Bali tidak dipamerkan di ruang Kehidupan Katak, semua jenis yang saya
saksikan berbeda dan punya ciri-ciri yang unik serta langka. Yang paling banyak
menarik perhatian para pengunjung adalah aquarium habitat amphibi dengan judul
“Just a Gigolo”. Saya pun berdesakan
ikut ingin tahu apa sebenarnya yang menarik dari katak tersebut. Seorang
pengunjung bule menoleh pada saya berkata, “Saya kira hanya manusia yang jadi
gigolo, ternyata katakpun mempraktekkan hal tersebut” [dia berkata dalam bahasa
Inggris]
Saya tersenyum mendengar komentarnya lalu bilang,”Benarkah? Coba saya
lihat“
Dengan penuh perhatian saya
mengintip ke dalam aquarium dimana para gigolo tersebut dipamerkan. Dalam hati
saya berkata dan tersenyum menyetujui komentar bule tadi, ya memang benar,
bukan hanya manusia yang menjadi gigolo namun katak pun tak mau ketinggalan.
Figure berikut adalah photo ”Sang Kodok Gigolo“ yang memang tampan dan
menarik.
Sang Gigolo penghuni Amazon yang nama Inggrisnya adalah “Milk Frog“ serta
nama Latinnya Trachycephalus resinifictrix dari keluarga Hylidae, dia termasuk
binatang amphibia yang bisa hidup di dua tempat yaitu baik di darat maupun di
air. Ukuran tubuhnya berkisar antara 3 sampai 4,5 inci atau sekitar 8,9 atau
10, 6 cm. Makanan kegemarannya adalah serangga, dia suka tinggal di
cabang-cabang pohon di daerah tropis yang tinggi dan lembab seperti di Guyana,
Brazilia, Ecuador, Peru Amazon. Siklus hidupnya berawal dari pembiakan yang
terjadi di atas pohon-pohon tropis tinggi. Para betinanya bertelur antara 2000
sampai 3000 di lobang-lobang pohon tinggi yang berisi air. Telur-telur yang
berjumlah ribuan tersebut lalu menetas menjadi cebong dalam jangka waktu dua
minggu kemudian.
Nah sekarang, kenapa jenis katak yang hidup di ketinggian pohon-pohon
tropis basah tersebut dijuluki Gigolo? Perhatikan foto berikut ini:
Berdasarkan terjemahan bebas dari keterangan photo yang penulis ambil waktu
itu, ceritanya begini:
Pada saat musim berkembang biak, sang kodok jantan
berusaha untuk menarik perhatian sang betina dengan suaranya yang nyaring untuk
datang ke tempat yang telah disediakannya di lobang pohon berisi air di istana
pohon tropis. Lalu sang betina tergoda mendatangi panggilan sang jantan lalu
dia bertelur di istana air tempat si jantan. Setelah bertelur si betina
meninggalkan pasangannya untuk menjaga telur-telur tersebut sampai menetas
menjadi cebong atau berudu. Tetapi setelah telur-telur tersebut menjadi berudu,
maka si jantan gigolo merayu betina lain untuk mendatangi tempat yang sama agar
kawin dan bertelur disana. Sayang sekali, telur-telur dari si betina kedua tidak
dipeliharanya tapi bahkan dipakai untuk makanan bagi berudu-berudu yang
kelaparan dari betina pertamanya. Dengan mengumbar “Cinta Palsu“, dia telah
berhasil memperdayai betina kedua untuk memberi makan anak-anak dari
telur-telur hasil perkawinan mereka.
Alam memang penuh kejutan dan selalu menarik untuk dicermati
No comments:
Post a Comment